Jumat, Februari 06, 2009

puisi puisi chairil anwar

PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

(1948)
Siasat,
Th III, No. 96
1949


MALAM

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru,
No. 11-12
20-30 Agustus 1957



KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957


DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai



Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)
Budaya,
Th III, No. 8
Agustus 1954



PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

(1948)

Liberty,
Jilid 7, No 297,
1954

Thursday, April 03, 2003

Posted 6:01 AM by camar
AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

Posted 6:01 AM by camar



PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943

Posted 5:59 AM by camar

HAMPA

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

Posted 5:59 AM by camar

DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

Posted 5:58 AM by camar
SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...

Posted 5:58 AM by camar
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

1946

Posted 5:58 AM by camar
CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946

Posted 5:57 AM by camar

MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947

Posted 5:57 AM by camar
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949

Posted 5:53 AM by camar
DERAI DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949

datang dara hilng dara

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam.

Hari-hari ini, ketika ada rasa cemas bila puisi jadi suara yang tak taat dan seni tak alim, saya ingin mengingat Chairil Anwar. Ia meninggal, mati muda, 28 April 1949. Bagian penting dari 27 tahun dalam hidupnya intens, bergairah, gemuruh, dan khaotis.

Ada satu kalimat goresannya sendiri yang tertulis di secarik kertas:

…wijsheid + inzicht tidak cukup, musti stimulerende kracht + enthousiasme.

Chairil tak ingin cuma punya kearifan dan wawasan. Baginya manusia perlu ”daya rangsang” dan antusiasme.

Dalam sebuah pidato pada 1943 Chairil mendahului paragraf pertamanya dengan sebuah sajak:

Mari berdiri merentak
Diri-sekeliling kita bentak

Kehendak menggugah (me-”rentak” dan mem-”bentak”) itu bagian dari yang disebutnya sebagai ”vitaliteit” atau ”tenaga hidup”. Dalam seni, menurut Chairil, ”tenaga hidup” itu selalu muncul sebelum keindahan, berupa ”chaotisch voorstadium”, tahap pendahulu yang galau, yang khaotis.

Kreativitas memang diawali rasa gelisah mencari, kegalauan ingin menemukan, juga niat merombak. Sesuatu yang destruktif tersirat di dalamnya. Seorang ”pujangga”, kata Chairil (pada 1943 itu ia masih menyebut sastrawan demikian) tak gentar akan apa pun. ”Pohon-pohon beringin keramat” ia panjat. Bahkan ia akan ”memotong cabang-cabang yang merindang-merimbun tak perlu…”.

Inilah statemen Chairil: ”Aku berani memasuki rumah suci hingga ruang tengah! Tidak tinggal di pekarangan saja.”

Dengan keberanian menerobos itu ia pun mempertanyakan—bahkan sedikit mencemooh—ajaran agama.

Kita ingat sajak Sorga. Sang penyair mula-mula mengikuti tradisi orang tua: ia berdoa agar masuk surga. Sebab, ”kata Masyumi + Muhammadiyah”, surga itu ”bersungai susu” dan bertaburan beribu-ribu bidadari. Tapi dalam diri sang penyair ada suara yang ”nekat mencemooh”: benarkah dengan demikian surga lebih asyik ketimbang dunia? Tidakkah kehidupan yang berlimpah itu justru membuat manusia kehilangan gairah seperti ketika pelaut melihat ”gamitan dari tiap pelabuhan”?

Dalam pertanyaan itu, Tuhan praktis ”mati”: tak ada lagi satu sumber yang diakui sebagai maha-penjamin segalanya, juga hal yang paling ganjil.

Atau Tuhan telah redup: ”caya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi”, demikian kita temukan dalam sajak Doa. Atau Tuhan jadi penyebab tamatnya pengembaraan: sang kelana tak lagi menemui dunia dengan takjub dan cemas seperti di sebuah negeri asing. ”Aku mengembara di negeri asing,” kata Chairil. Tapi kemudian, ketika ”di pintu-Mu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.”

Dengan kata lain, setelah pintu itu, ”tenaga hidup” kehilangan rangsang untuk mencari, untuk gelisah, untuk berbeda. Tiap kekuasaan yang mengontrol cenderung membuat hidup terbatas pada yang hadir dan dikenali, berpegang pada satu ensiklopedia yang sudah tersusun rapi. Dengan demikian, pintu ditutup bagi kebenaran yang tak terduga-duga.

Tapi bisakah pengembaraan yang membuka diri bagi yang tak pernah dikenal itu dihabisi? Dalam adaptasinya atas sajak Hsu-Chih Mo (1897-1931), A Song of the Sea, Chairil menghadirkan seorang dara yang sendiri, ”berani mengembara/Mencari di pantai senja”. Ketika si gadis diseru agar pulang, ia menolak:

”Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”

Penolakan itu menegaskan kebebasan. Tak mengherankan bila Chairil menyambut jatuhnya kekuasaan Jepang dengan teriakan, ”Hoppla!” Di bawah fasisme Jepang, yang tumbuh adalah ”kebudayaan paksaan.” Diawasi oleh sensor dan doktrin, sastra dan seni harus mengikuti arahan tertentu. Pada masa pendudukan Jepang, yang harus dipatuhi adalah ”garis-garis Asia Raya”, seruan agar rakyat menanam pohon jarak, melipatgandakan panen, menabung, bikin kapal…. Banyak seniman yang patuh. Bagi Chairil, mereka telah ”mendurhaka kepada Kata”.

”Kata” dalam pengertian Chairil bukanlah Logos. ”Kata” tak dibentuk oleh aku-yang-berpikir, tapi aku-yang-ada-di-dunia. Dalam pemikiran Chairil, ”Kata adalah yang menjalar mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, mimpi, pengharapan, cinta, dan dendam.”

Artinya ”Kata” praktis sama dengan ”hidup”. Maka ia tak bisa diperbudak; ia bebas-lepas. Tapi hidup juga selamanya riskan, bisa tak disangka-sangka, bisa gelap. Manusia dan ”Kata”-nya bukanlah makhluk yang transparan, lurus, dan koheren. Dalam satu coretan pendeknya yang dikutip H.B. Jassin dalam Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45, Chairil menyebut bahwa dalam diri manusia ada ”gedong besar dan gelap tempat jiwa kita yang sejati bersembunyi.”

Itu sebabnya ”Kata” atau ”hidup” punya sifatnya yang tak cerah, bahkan tragis. Dalam sajak Chairil yang terkenal, Aku, kita dapatkan manusia yang terbuang dan luka. Ia berlari, kesakitan, berteriak, ”aku ingin hidup 1000 tahun lagi”, tapi keinginan itu justru menunjukkan kekurangannya. Ia fana. Ia terbatas.

Mungkin itu sebabnya sajak Hsu-Chih Mo oleh Chairil diberi judul Datang Dara, Hilang Dara. Di balik kehadiran itu ada ketiadaan. Di akhir sajak, terdengar suara yang memanggil si dara dari tepi laut yang hampir gelap itu. Tapi ternyata

Di pantai, di senja, tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak….

Sang penyair mengakui yang ganjil, yang misterius, dan tak terpahami di luar sana. Puisi jadi berarti bukan karena menjejalkan isi, melainkan karena menemui sebuah pantai senja yang kehilangan. ”Aku…,” kata Chairil kepada Ida [Nasution?], ”bukan pendeta atau kiai tentang sesuatu.”

Sajak-sajak Chairil terus-menerus mempesona kita justru karena itu.

~Majalah Tempo Edisi. 37/IX/21 - 27 April 2008

Mengenai Saya

nama lengkap saya muhhamad rojaki styo projo, lahir di lampung 7 desember 1983. saat ini sedang menempuh pendidikan di yogyakarta state university. education of indonesian language. tepatnya pendidikan bahasa dan sastra indonesia angkatan 2004. alumnus smansa pagela tercinta .. mencintai smansa sampai akhir hayat.. insya Allah ..amien